Oleh: Eka Wahyudi
Bismillahirrahmanirrahim, kali ini saya akan meresensi sebuah buku yang berkisah pada 1300 an tahun silam, dengan rincian sebagai berikut:
Penulis : Ustadz. Herfi Ghulam Faizi, Lc
Judul : Umar bin Abdul Aziz (29 Bulan Mengubah Dunia)
Tahun Terbit : Agustus 2012
Penerbit : Cahaya Siroh
Halaman : 148
Seorang pemimpin dan rakyat adalah satu kesatuan yang saling memberi pengaruh. Jika pemimpinnya adil dan bertakwa, maka rakyat akan merasa aman dari kebijakan dan tindakannya, yang kemudian berdampak pada tercurahnya sakinah kehati masing-masing mereka. Sedang jika sang pemimpin adalah si zalim lagi culas, maka pastilah rakyat tak pernah tidur dengan pulas, senantiasa memikirkan pemimpinnya yang tak pernah puas, sedang si pemimpin selalu gundah gulana takut jika rakyatnya akan mengkudeta. Begitulah pentingnya seorang pemimpin, bukan hanya sekedar simbol atau jarahan dari kontestasi semata.
Pada buku ini, penulis bermula menceritakan sang tokoh “Umar bin Abdul Aziz” dari nasab hingga dampak kebijakan serta revolusinya. Nasabnya yang berasal dari pertemuan dua kabilah besar, yakni dari pihak ayah menyiratkan sisi kebangsawanan (Bani Umayyah), sedangkan dari pihak ibu berasal dari sahabat yang mulia, Umar Bin Khattab. Walaupun demikian, perlu kita sepakati dahulu, bahwasanya nasab bukanlah faktor utama yang menentukan kebesaran seseorang. Nasab bukan pula penghalang seseorang untuk merintis kebesarannya. Betapa banyak orang besar yang lahir dari keturunan keluarga tak berada. Sebaliknya, tidak sedikit pula orang-orang besar yang melahirkan generasi kerdil. Kebesaran itu semakin nyata jika kita telusuri dari garis nasab ibunya. Umar bin Khattab yang merupakan sang kakek sudah sangat akrab di telinga kita. Sosok khalifah yang adil, zuhud, tegas, visioner dan sangat fenomenal dalam sejarah Islam. Manusia yang paling dekat dengan Rasulullah sebakda Abu Bakar Ash-Shiddiq. Amirul Mukminin adalah gelar pertama yang disandangkan kepadanya. Tidak diragukan lagi bahwa keislamannya menjadi kekuatan besar dalam keberlangsungan dakwah Islam saat itu.
Rasulullah pernah berdoa, “Allahumma a’izzal Islama bi Umar…!” (Ya Allah, kuatkan Islam dengan Umar). Doa baginda Nabi ini sebenarnya tertuju pada Umar bin Khattab, tetapi menular ke Umar bin Abdul Aziz. Pemimpin umat ini memulai petualangan di Dunia pada 61 H bertepatan pada tahun meninggalnya Husain bin Ali bin Abi Thalib dan berakhir sekitar 40 tahun setelahnya. Ia seorang yang ambisius dan berkompetensi, sehingga meskipun merupakan anak seorang gubernur Mesir dan cucu dari khalifah dinasti Umayyah keempat, tidaklah menjadikannya bermalas-malasan mencari ilmu dan menjadi penghafal Qur’an diusia belia. Terdapat tujuh ke-khalifahan Daulah Umayyah sebelumnya, yakni: 1) Muawiyah bin Abi Sufyan ( 41 – 60 H ), 2) Yazid bin Muawiyah ( 60 – 64 H ), 3) Muawiyah bin Yazid ( 64 – 64 H ), 4) Marwan bin Hakam ( 64 – 65 H ), 5) Abdul Malik bin Marwan ( 65 – 87 H ), 6) Walid bin Abdul Malik ( 86 – 96 H ), dan 7) Sulaiman bin Abdul Malik ( 96 – 99 H ), kemudian Umar bin Abdul Aziz ( 99 – 101 H ).
Banyak sekali kelalaian, kezaliman, bahkan kemaksiatan bertebar sebelum masanya Umar bin Abdul Aziz. Tanpa menafikan adanya perluasan kekuasaan Islam hingga ke Afrika bagian utara dan sebagainya. Namun tetap saja kelebihan tersebut tidaklah mampu menebus dari kekurangan yang terjadi dikarenakan peristiwa-peristiwa yang memerosokkan umat islam sebagai berikut: Pertumpahan darah diinternal umat Muslim, terbunuhnya (Husain bin Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Zubair, salah-satu cucu Abu Bakar, dan banyak sahabat lainnya tatkala terjadi perang Hurrah), penyerbuan pasukan Hurrah di Madinah dan Makkah sekaligus menodai ribuan wanita, innalillahi wa inna ilaihi ra-ji’un. Padahal Rasulullah Saw bersabda, “Barangsiapa menakut-nakuti penduduk Madinah, maka Allah akan menakut-nakutinya dan baginya laknat Allah, para malaikat dan seluruh ummat manusia.” (HR. Muslim).
Kezaliman terbanyak terjadi pada masa Yazid bin Muawiyah. Ia dikenal dengan pemimpin yang gemar akan kemaksiatan, suka minum khamr, dan suka meninggalkan shalat. Dengan demikian, tidaklah patut dikatakan bahwa perluasan kekuasaan saat itu sebagai indikator kejayaan islam. Ada yang menarik diawal-awal Umar menjadi khalifah, yakni melakukan kontrak politik dengan Rakyat serta membangun visi penyatuan umat dan menjauhi hal-hal yang menyebabkan perpecahan. Ia menaiki mimbar seraya berkata“…..Sesungguhnya umat ini tidaklah berselisih dalam masalah Tuhannya azza wa jalla, juga tidak berselisih dalam hal Nabinya, juga bukan pada kitabnya, tapi ummat ini berselisih dalam urusan dinar dan dirham. Demi Allah, aku tidak akan memberikan kebathilan kepada seseorang, dan tidak pula melarangnya dari kebenaran. Wahai sekalian manusia!! Barangsiapa yang taat pada Allah maka ia wajib ditaati, dan barangsiapa bermaksiat pada Allah maka tidak ada ketaatan padanya. Taatlah kalian kepadaku selama aku taat pada Allah, dan jika aku bermaksiat pada Allah maka kalian tidak wajib mentaatiku!”. Persis seperti pidato pertama Abu Bakar ketika dibaiat menjadi pengganti Rasulullah. Standar persatuan dan kebenaran berdasarkan ketaatan pada Allah (Qur’an dan sunnah) dan urusan dinar serta dirham menjadi sebab utama perpecahan umat. Ia pun meninggalkan semua kemewahan yang dimiliki sebelumnya dan menolak fasilitas kekhalifahan. Jikapun menggunakan fasilitas, semata-mata hanya untuk keperluan umat saja. Sebagaimana ketika salah seorang anaknya ingin bertemu dan berdiskusi mengenai satu dual hal maka Umar bertanya padanya” urusan umat atau pribadi?” kemudian si anak menjajawab “urusan pribadi” lalu Umarpun mematikan lentara yang sedang digunakannya dan menyuruh anaknya masuk. Begitu sangat berhati-hatinya Ia dalam menggunakan fasilitas berupa amanah, tak lain seperti kakeknya dalam memimpin.
Terdapat beberapa kebijakan dan revolusi dalam struktur pemerintahan, keamanan, perekonomian, dan ilmu pengetahuna walau hanya dengan kurun waktu 29 bulan saja. Pertama, Ia memecat pejabat-pejabat yang tidak amanah dan menggantinya dengan orang yang ‘alim dan bertakwa dan menjadikan hukum ibarat pisau bermata dua. Kemudian memahamkan kelompok khawarij (sebab merekalah gembong pemberontakan dan penyebab kekacauan) dengan cara berdiskusi yang bijak bukan dengan kekerasan pula. Disektor ekonomi terlihat jelas dari kesusahan para pegawainya untuk mendapati orang yang mau atau pantas diberikan sedekah, bahkan profil orang miskin saat itu adalah orang yang mempunyai rumah, pembantu, perabotan rumah tangga yang lengkap serta kendaraan. Terdapat banyaknya tempat belajar agama dan turunannya di masyarkat, karena Ia menyurati seluruh Gubernur untuk menunjuk orang-orang ‘alim, faqih, dan bertakwa di wilayahnya untuk menjadi guru, dimana mendapat gaji besar dan fasilitas lainnya.
Sedikit dari sekian banyak kebijakan-kebijakan dan revolusi yang dilakukan Umar bin Abdul Aziz. Semoga dapat diadopsi oleh perangkat pemerintahan Negara kita saat ini, yang sama-sama kita tahu bagaimana kondisi hukum Negara kita sekarang, persontase kemiskinan yang masih besar, penanya keadilan dan kebenaran dikira pemberontak yang patut diberantas dengan kekerasan, dan bergesernya orientasi lembaga pendidikan itu sendiri.
Sebelum memasuki ending, saya akan menyertakan satu quote dari Umar bin Abdul Aziz yang berasal dari buku ini sendiri. “Sesungguhnya aku mempunyai jiwa yang ambisius, yang jiwa itu tidak berada di satu kedudukan melainkan aku akan berambisi untuk mendapatkan kedudukan yang lebih tinggi dari sebelumnya. Hingga akhirnya aku sampai di sebuah kedudukan yang tidak ada kedudukan yang lebih tinggi setelahnya (khalifah). Dan pada hari itulah jiwaku berambisi untuk meraih surga”. Always oriantied to the afterlife (Jannah), bukan seperti Fir’aun dan Namrud ketika mencapai puncak tahta, mereka menginginkan jabatan Tuhan pula.
Buku yang bagus untuk dibaca sebagai bahan acuan dalam mentarbiyah hati dan siyasah diri, terutama bagi tokoh pemimpin suatu organisasi, kelompok masyarakat kecil hingga pemimpin suatu Negara madani yang berporos pada islam,. Satu lagi kelebihan buku ini ialah, sumber penulisan yang jelas dan beragam menjadikan buku ini sebagai karya yang bersumber dari fakta-fakta, bukan sekedar opini, dongeng, apatahlagi imajinasi belaka. Kekurangannya, terdapat beberapa kata yang typo namun tidak fatal sehingga masih bisa dipahami dengan baik. Jika saya menilai buku ini maka akan bernilai 8,5 dari 10.
Semoga kelak akan kita dapati pemimpin negeri ini dengan keadilan dalam berkebijakan, yang membebaskan pengutaraan keluh-kesah namun bukan yang kebablasan, yang tidak memandang status sosial namun bukan termasuk kaum anti sosial, yang hukumnya tidak seperti mata pisau, yang ucapannya bersumber dari qur’an dan perkataan mulia kekasih Nya.
Eka Wahyudi
Santri PP Takwinul Muballighin. Mahasiswa Teknologi Pertanian UGM.
Awesome post! Keep up the great work! 🙂