Oleh: Ustad Ahmad Rusdi
Membahas masalah hati memang menarik karena disamping kebahagiaan, yang merupakan tema renungan sejak awal, sangat tergantung pada hati yang juga terkait dengan amal ibadah kita. Dalam kitab al-Wafi Syarah hadits Arba’in an Nawawi saat mengupas masalah niat, Syaikh Dr. Musthofa al-Bugho dkk mengutip pendapat Imam Syafii dan Imam Ahmad yang mengatakan bahwa amal ibadah kita ada tiga unsur yaitu hati, lisan dan badan atau perbuatan. Jadi unsur hati menempati posisi sepertiga dari amal ibadah kita.
Imam Abu Daud ketika mengomentari hadits Innama al-a’malu bi an-niyat, yang menjelaskan tentang niat mengatakan bahwa niat yang terletak di hati itu adalah setengah dari agama, karena amal yang terkait dengan agama (ibadah) itu terbagi menjadi dua, yaitu zhahir dan batin. Jadi hati sebagai tempatnya niat menempati posisi separuh ibadah.
Mengingat peran dan posisinya yang sangat strategis pada diri kita, Renungan kali ini mengutip bab hati yang dikarang oleh Imam al-Ghazali dalam karyanya Minhaj al-‘Arifin.
Di bab kedua dari kitab tersebut (bab al-Ahkam) beliau menjelaskan tentang perubahan hati :
” إعراب القلوب على أربعة أنواع: رفع وفتح وخفض ووقف، فرفع القلب في ذكر الله، وفتح القلب في الرضا عن الله تعالى، وخفض القلب في الاشتغال بغير الله تعالى، ووقف القلب في الغفلة عن الله تعالى فعلامة الرفع ثلاثة أشياء : وجود الموافقة , وفقد المخالفة , ودوام الشوق وعلامة الفتح ثلاثة أشياء : التوكل , والصدق , واليقين وعلامة الخفض ثلاثة أشياء : العجب , والرياء , والحرص وهو مرعاة الدنيا وعلامة الوقف ثلاثة أشياء : زوال حلاوة الطاعة , وعدم مرارة المعصية , والتباس الحلال وعلامة الوقف ثلاثة أشياء : زوال حلاوة الطاعة , وعدم مرارة المعصية , والتباس الحلال.”
Kutipan kitab di atas akan saya terjemahkan dengan menambahkan penjelasan yang diperlukan. Perubahan hati menurut Imam al-Ghazali ada empat macam: pertama, hati yang terangkat atau naik saat kita berzikir kepada Allah; kedua, hati yang terbuka bila kita ridho kepada Allah SWT; ketiga, hati yang turun bila kita sibuk dengan selain Allah SWT dan; keempat, hati yang berhenti atau mati ketika kita lalai dari Allah SWT.
Selanjutnya beliau menjelaskan indikator dari keempat macam hati tersebut. Untuk memiliki hati yang terangkat atau naik maka yang hendaknya dilakukan adalah: pertama, adanya kesesuaian yaitu kesesuaian perilaku kita dengan apa yang diperintahkan Allah SWT. Ibarat kata kita menjadi hamba Allah yang taat. Kedua, tidak adanya mukholafah yaitu perilaku kita tidak menyimpang dari ajaran Allah dan Rasul-Nya. Ketiga, senantiasa ada kerinduan. Kerinduan untuk beribadah dan kerinduan untuk bermunajat kepada Allah SWT. Bukankah salah satu tanda cinta kepada Allah adalah kita senantiasa rindu kepada-Nya, rindu untuk berjumpa kepada-Nya. Rasa rindu ini hendaknya kita rawat sehingga menjadi motivasi serta inspirasi kita untuk beribadah. Ketika rindu bersemayam di hati, kita kembalikan kepada sang pencipta hati dengan cara bersujud, berzikir dan berdoa serta merasa malu untuk bermaksiat kepada-Nya.
Sementara untuk hati yang terbuka, indikatornya adalah: pertama, tawakkal (kepasrahan). Sejatinya seorang muslim memiliki kepasrahan karena salah satu makna Islam itu ya tunduk dan pasrah. Hanya makna tawakkal ini yang mungkin perlu diluruskan. Dalam Tawakkal ada ikhtiar. Jadi tawakkal dan kepasrahan kita adalah kepasrahan yang aktif bukan pasif. Namun yang hendaknya kita fahami juga adalah bahwa dalam kepasrahan dan sikap tawakkal sejatinya kita sadar bahwa sebaik-baik rencana kita, tentu lebih baik rencana yang Allah tentukan buat kita. Dengan tawakkal inilah justru kemuliaan kita akan nampak, karena orang yang bertawakkal itu tidak akan bergantung kecuali kepada Allah SWT.
Indikator kedua dari hati yang terbuka adalah memiliki kejujuran. Jujur merupakan kata yang sangat sederhana, hanya terdiri dari lima huruf tetapi pengaruhnya bagi yang memiliki sangat luar biasa. Karena kejujuran itu akan membawa seseorang kepada kebaikan dan kebaikan itu akan mengantarnya ke surga yang Allah janjikan. Sahabat Ibnu Mas’ud menuturkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِى إِلَى الْبِرِّ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِى إِلَى الْجَنَّةِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ صِدِّيقًا……”
“Hendaklah kamu berlaku jujur, karena sesungguhnya kejujuran akan mengantarkan pada kebaikan dan kebaikan akan mengantarkan ke surga. Jika seseorang berlaku jujur dan berusaha untuk jujur, maka dia akan dicatat di sisi Allah sebagai orang yang jujur….”
Indikator terakhir adalah keyakinan. Dalam hal ini kita harus yakin bahwa sesunguhnya kita yang butuh Allah bukan Allah yang butuh kita. Keyakinan seperti ini akan mengantarkan kita untuk taat kepada-Nya. Karena hakikatnya ketaatan yang kita lakukan itu untuk kebaikan kita sendiri dan tidak berpengaruh kepada kekuasaan Allah SWT. Dalam hadits Qudsi sebagaimana dikutip dalam kitab Nashoih al’Ibad dan juga di al-arbain an-Nawawi dijelaskan bahwa seandainya manusia dan jin berada dalam keadaan paling bertaqwa, niscaya tidak akan menambah keagungan sedikitpun pada kerajaan Allah. Begitu pula dalam kedurhakaan tidak akan mengurangi sedikitpun keagungan dan kekuasaan Allah SWT.
Keyakinan bahwa kita butuh Allah yang mengantarkan kita taat kepada-Nya, hendaknya diiringi dengan keyakinan bahwa Allah selalu melihat kita dalam kondisi apapun sehingga hal ini mendorong kita untuk berhati-hati dalam bertindak dan beramal. Karena kita juga harus yakin bahwa amal kita yang berupa kebaikan akan mendapat balasan berupa pahala dan amal kita yang berupa keburukan akan mendapat balasan dan kita pertanggungjawabkan nanti di yaumil qiyamah.
فَمَنۡ يَّعۡمَلۡ مِثۡقَالَ ذَرَّةٍ خَيۡرًا يَّرَهٗ # وَمَنۡ يَّعۡمَلۡ مِثۡقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَّرَهٗ
“Maka barangsiapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya, dan barangsiapa mengerjakan kejahatan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya”. ( Q.S. Al-Zalazalah : 7-8)
Wallahu a’lam. Semoga bermanfaat.
Ustad Ahmad Rusdi
Pendidik di Jakarta