Muhammad Natsir di makam Rahmah El Yunusiyah (1908-17 Juli 1993)
Oleh : Hendra Sugiantoro
Setiap kematian, malaikat Izrail tak memberitakan di surat kabar, televisi, dan radio. Sejak setahun lalu, puluhan tahun silam, berabad lampau.
Apakah seseorang bisa memiliki firasat soal kematiannya? Bukankah kematian merupakan rahasia? Wallahu a’lam. Kita menyebut saja “sebuah kisah”.
Tentu bukan akibat Covid-19 jika napas Rahmah El-Yunusiyyah hampir habis. Tiga hari sebelum ajal, ia menuju Padang dan menemui Gubernur Sumatera Barat.
Berbicara hampir satu jam, Rahmah sempat berucap, “Napas saya sudah hampir habis, dan kepada Pak Gubernur saya mintakan perhatian atas sekolah saya itu.”
Harun Zein selaku gubernur mengaku terkejut. Soal “perhatian pemerintah” ini urusan lain. Rahmah jauh-jauh hari telah mempersiapkan penggantinya: Isnaniah Saleh. Ia adalah keponakan sekaligus angkatan pertama yang menempuh studi di Universitas al-Azhar.
Bahkan, 15 hari sebelum kematian Rahmah, seorang muridnya bernama Rosmaini bermimpi gurunya itu meninggal. Dalam bunga tidur itu, semua murid-murid menangis dan serentak membaca Alquran.
“Semua bisa terjadi jika Allah sudah berkehendak,” ucap Rahmah saat Rosmaini menceritakan mimpinya.
Sebelum napas Rahmah benar-benar habis, Rosmaini dan seorang kawannya membersihkan kamar pendiri Perguruan Diniyyah Puteri itu. Akhir hidupnya, Rahmah memang dalam keadaan sakit. Banyak obat-obatan di kamarnya.
Rosmaini memang tak mungkin tahu kalau mimpi itu akan terjadi sesaat lagi. Ia pamitan pulang sembari membawa dua selendang untuk disetrika.
Hari itu juga, saat Rosmaini sedang menyetrika selendang di rumah, Rahmah masih bercengkerama dengan tamu-tamu. Maghrib menjelang, Rahmah pun hendak berwudhu.
Tak ada referensi tunggal terkait detik-detik akhir kehidupan Rahmah. Apakah sekadar pening dan muntah atau sempat terjatuh saat berwudhu dan dibawa ke tempat tidur? Diketahui bahwa Rahmah meninggal dalam keadaan berwudhu
Malam itu, selendang Rahmah telah rapi disetrika. Namun, malam itu, Rosmaini harus terperanjat mendengar kematian gurunya.
Buya Hamka pun menoreh pena, “….saat orang berhenti sejenak di Muzdalifah memilih batu untuk pelempar setan dan mendakikan doa dan munajat kepada Tuhan, maka bersama-sama doa yang mustajab itu, roh dari seorang pejuang wanita Islam Indonesia, Rahmah El-Yunusiyyah, telah turut pergi menghadap Tuhannya.”
Ibu Pendidikan Indonesia meninggalkan kita pada malam 9 masuk 10 Dzulhijjah 1388 Hijriyah. Dalam Masehi, 26 Februari 1969. Malam menjelang Idul Adha.
Konon, selendang Rahmah yang disetrika itu oleh pihak keluarga diberikan kepada Rosmaini. Wallahu a’lam.
Hendra Sugiantoro
Penikmat Sejarah di Jogja
Mantap.
Sukses terus dalam karyanya