Oleh : Gus Nas
Pagar-pagar sunyi itu menggigil
Mengepungku di sini
Di antara aksara dan angka
Antara ilmu dan laku
Bertemu Resi di Puncak Merapi
Kutemukan makna mimpi
Malam Jum’at Kliwon
Apakah krisis di negeri ini
Bermula di sini?
Cakil dan Sengkuni
Tak mungkin lahir dan besar di tempat ini
Pohon Bodisatwa di depan Balairung
Kini telah beranjak tua
Tertatih mencari makna
Terlunta-lunta menggali akarnya
Langit biru di Bulaksumur
Mengeja warna
Akankah berdiam diri di cakrawala
Bersikukuh menjadi menara gading
Ataukah tumbuh liar di luar nalar?
Ataukah memilih berpura-pura?
Revolusi telah mati!
Demokrasi juga mati!
Reformasi ikut mati!
Tapi di Bulaksumur ini
Semua akan hidup kembali!
Bukankah tahta tertinggi adalah takwa?
Lalu iman dan ilmu sebagai tangga
Dan puncaknya adalah memanusiakan manusia?
Itulah kenapa kita harus terus mendaki
Di Balairung
Aku merindukan tegur sapa
Bersenyawa dengan materi dan energi
Sesekali melukis bianglala
Menyanyikan pelangi sebagai orkestra
Tapi buku-buku tua
Manuskrip dan kitab-kitab lama
Hanya menumpuk dan berdebu tanpa suara
Dimanakah fatwa dan puisi menyalakan cinta?
Bukankah Padma dan Teratai tumbuh di sini
Tapi dimana bening telaga itu kini berada?
Di Gelanggang
Perjuangan tak cuma sebatas luka dan kata
Di didih dada
Sudah waktunya api revolusi membakar cita-cita
Menyalakan cinta Ibu Pertiwi
Kesabaran yang diajarkan akar rumput
Tak hanya tumbuh filsafat dan makrifat
Serendah apa pun rumput
Ia tetap merdeka
Tak bisa diinjak semena-mena
Di langit biru Bulaksumur
Kucari partitur dalam jerit biola
Suara nyeri rintih kecapi
Bukan dendam sejarah dan propaganda
Sebab di senjakala
Sumpah Palapa akan menjadi algoritma
Tumpul rasa pasti berbuah karma
Gus Nas
Jogja, 10 November 2022